Thursday, 23 March 2017

Gelap&Terang

“Saya matiin lampunya ya”
“Kenapa sih suka banget idupin lampu”
“Duh terang banget deh”
“Jangan lupa nanti matiin lampu”

Kira-kira begitulah segelintir omelan saya mengenai hidup matinya lampu di ruangan saya. Dan kerapkali saya dengan semena-menanya mematikan lampu ruangan orang lain atau toilet umum jika masih siang dan terang alami. Bukannya saya tidak suka penerangan, dan tidak bersyukur atas penemuan Thomas Alfa Edison yang membantu kehidupan berjuta hidup manusia di muka bumi. Bukan itu. Namun saya rasa ada filosofi yang tersembunyi di dalamnya.

Pertama, dari sisi idealisme saya, saya ingin turut serta dalam penghematan energi listrik yang akan berkontribusi pada gerakan anti global warming. Saya rasa hal ini tidak usah saya perdalam kali ini.

Kedua, saya tidak suka cahaya menyilaukan berasal dari luar (eksternal) diri saya. Cie. Haha.. Kita dituntut untuk menjadi anak-anak terang di dunia, karenanya saya lebih fokus untuk mengeluarkan terang saya dibanding terang dari luar, meskipun hal ini tidak dapat kita sandingkan apple to apple, but still, ini believe system yang saya pakai sendiri untuk tetap memotivasi diri saya sendiri agar tetap “bercahaya” dimanapun saya berada (tsaaahh ;p)

Ketiga, saya rasa kita tidak dapat menghargai keberadaan terang itu sendiri jika kita tidak merasakan gelap. By being in the dark, we value light so much. Bayangkan jika kita berada di ruangan terang benderang terus menerus, maka keberadaan cahaya matahari, lampu atau lilin tidaklah menjadi hal yang istimewa bukan? Namun apabila kita berada dalam ruangan yang gelap, atau berada di situasi malam yang gelap gulita, bukankah kita sangat mensyukuri adanya cahaya yang dapat membantu daya visibilitas kita terhadap sekitar? Yang hendak saya analogikan disini adalah, kita akan sangat dituntut untuk tetap bersyukur apabila kita berada pada masa-masa kelam dan gelap. Seringnya pasti kita lupa untuk mensyukuri hal-hal bercahaya di hidup kita apabila kita terus menerus berada dalam keadaan senang atau terang benderang. Karenanya, gelap itu penting. Sama pentingnya dengan terang. Masa suram, pencobaan, sedih, pilu, sakit, luka, duka, kelam, dan hal-hal ‘gelap’ lainnya sudah sepatutnya tetap kita reaksikan dengan pujian syukur, karena hal-hal tersebutlah yang membuat kita berhenti sejenak, merenung, ingat untuk berdoa, berserah, bersyukur dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Terlebih lagi, kita baru dapat merasakan sesuatu secara mendalam ketika kita menutup mata dan melihat gelap bukan? Ketika mencoba mengingat/merecall suatu memori, berpelukan, berciuman, menangis, menghirup nafas dalam-dalam, senyum mendalam, tertawa terbahak-bahak, meditasi dan segala hal mendalam lainnya dapat kita rasakan lebih dalam ketika kita menutup mata dan tidak melihat apapun. Karena saat itulah soul kita mengambil peran, dan segala indera kita bekerja dengan lebih peka, sehingga kita dapat lebih merasakan "rasa" nya :') 
Menilik analogi lainnya (berhubung ini tepat setahun saya menyaksikan keajaiban si Cahaya Utara hihi), Aurora Borealis (The Northern Lights) yang begitu magis saja tidak bisa kita lihat kalau kita tidak berada di tempat gelap loh, hahaha. Mana bisa kita lihat keindahan nya si Aurora kalau kita maunya berada di gemerlap kota yang terang benderang. Kita harus pergi ke sudut-sudut kota/desa, ke danau, atau ke ujung-ujung kawasan yang sangat minim penerangan (and cold AF, to make it worse LOL) supaya bisa melihat Aurora dengan jelas. Dan begitu kita mendapatkan kawasan sunyi sepi gelap dan mencekam (ini agak lebay sih haha), maka dapat saya pastikan kita bisa ternganga bahkan menangis dan tak berhenti bersyukur melihat karya Tuhan yang begitu menakjubkan tersebut. 

Jadi, jangan takut, jangan khawatir, jangan frustasi dan hilang pengharapan apabila kita sedang berada dalam masa gelap. Bersyukurlah! 

"Sebab dengan gelap, kita dapat melihat cahaya yang sesungguhnya" (Hutabarat, 2017 :p)

Jakarta, 24 March 2017
XX,
-Seviria Panjaitan-