“Saya matiin
lampunya ya”
“Kenapa sih suka
banget idupin lampu”
“Duh terang
banget deh”
“Jangan lupa
nanti matiin lampu”
Kira-kira
begitulah segelintir omelan saya mengenai hidup matinya lampu di ruangan saya.
Dan kerapkali saya dengan semena-menanya mematikan lampu ruangan orang lain
atau toilet umum jika masih siang dan terang alami. Bukannya saya tidak suka
penerangan, dan tidak bersyukur atas penemuan Thomas Alfa Edison yang membantu
kehidupan berjuta hidup manusia di muka bumi. Bukan itu. Namun saya rasa ada
filosofi yang tersembunyi di dalamnya.
Pertama, dari
sisi idealisme saya, saya ingin turut serta dalam penghematan energi listrik
yang akan berkontribusi pada gerakan anti global
warming. Saya rasa hal ini tidak usah saya perdalam kali ini.
Kedua, saya
tidak suka cahaya menyilaukan berasal dari luar (eksternal) diri saya. Cie.
Haha.. Kita dituntut untuk menjadi anak-anak terang di dunia, karenanya saya
lebih fokus untuk mengeluarkan terang saya dibanding terang dari luar, meskipun
hal ini tidak dapat kita sandingkan apple
to apple, but still, ini believe
system yang saya pakai sendiri untuk tetap memotivasi diri saya sendiri
agar tetap “bercahaya” dimanapun saya berada (tsaaahh ;p)
Ketiga, saya
rasa kita tidak dapat menghargai keberadaan terang itu sendiri jika kita tidak
merasakan gelap. By being in the dark, we value light so much. Bayangkan jika kita berada di ruangan
terang benderang terus menerus, maka keberadaan cahaya matahari, lampu atau
lilin tidaklah menjadi hal yang istimewa bukan? Namun apabila kita berada dalam
ruangan yang gelap, atau berada di situasi malam yang gelap gulita, bukankah
kita sangat mensyukuri adanya cahaya yang dapat membantu daya visibilitas kita
terhadap sekitar? Yang hendak saya analogikan disini adalah, kita akan sangat
dituntut untuk tetap bersyukur apabila kita berada pada masa-masa kelam dan
gelap. Seringnya pasti kita lupa untuk mensyukuri hal-hal bercahaya di hidup
kita apabila kita terus menerus berada dalam keadaan senang atau terang
benderang. Karenanya, gelap itu penting. Sama pentingnya dengan terang. Masa suram,
pencobaan, sedih, pilu, sakit, luka, duka, kelam, dan hal-hal ‘gelap’ lainnya
sudah sepatutnya tetap kita reaksikan dengan pujian syukur, karena hal-hal
tersebutlah yang membuat kita berhenti sejenak, merenung, ingat untuk berdoa,
berserah, bersyukur dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Terlebih lagi, kita baru dapat merasakan sesuatu secara mendalam ketika kita menutup mata dan melihat gelap bukan? Ketika mencoba mengingat/merecall suatu memori, berpelukan, berciuman, menangis, menghirup nafas dalam-dalam, senyum mendalam, tertawa terbahak-bahak, meditasi dan segala hal mendalam lainnya dapat kita rasakan lebih dalam ketika kita menutup mata dan tidak melihat apapun. Karena saat itulah soul kita mengambil peran, dan segala indera kita bekerja dengan lebih peka, sehingga kita dapat lebih merasakan "rasa" nya :')
Menilik analogi
lainnya (berhubung ini tepat setahun saya menyaksikan keajaiban si Cahaya Utara
hihi), Aurora Borealis (The Northern
Lights) yang begitu magis saja tidak bisa kita lihat kalau kita tidak berada
di tempat gelap loh, hahaha. Mana bisa kita lihat keindahan nya si Aurora kalau
kita maunya berada di gemerlap kota yang terang benderang. Kita harus pergi ke
sudut-sudut kota/desa, ke danau, atau ke ujung-ujung kawasan yang sangat minim
penerangan (and cold AF, to make it worse
LOL) supaya bisa melihat Aurora dengan jelas. Dan begitu kita mendapatkan kawasan
sunyi sepi gelap dan mencekam (ini agak lebay sih haha), maka dapat saya
pastikan kita bisa ternganga bahkan menangis dan tak berhenti bersyukur melihat
karya Tuhan yang begitu menakjubkan tersebut.
Jadi, jangan
takut, jangan khawatir, jangan frustasi dan hilang pengharapan apabila kita
sedang berada dalam masa gelap. Bersyukurlah!
"Sebab dengan gelap, kita dapat melihat cahaya yang sesungguhnya" (Hutabarat, 2017 :p)
Jakarta, 24 March 2017
XX,
-Seviria Panjaitan-